FENOMENA ATEIS PRAGMATIS, BERHATI-HATILAH HAI PRAJURIT

Dalam pemikiran monoteistik, Tuhan dipandang sebagai wujud tertinggi, pencipta, dan pemerintah alam semesta, dan merupakan objek utama dari iman. Namun dalam realitas kehidupan, untuk menetapkan sebuah kepercayaan yang ideal itu tidak terwujud, sebab masing-masing memiliki kepercayaan sendiri-sendiri, sehingga timbulah berbagai konsep aliran ke-Tuhan-an, seperti : aliran Teisme. Kata Teisme berasal dari bahasa Yunani”TEOS” (Tuhan) dan “NOMOS” Hukum (aturan, paham, norma). Jadi artinya sebuah aturan atau paham tentang Tuhan atau pengakuan adanya Tuhan. Teisme merupakan monoteisme yang bersifat Trinitarian dan bukan Unitarian. Tuhan merupakan pencipta sekaligus pengatur segala kejadian di alam semesta. Aliran Deisme. Deisme berasal dari bahasa latin “Deus” yang berarti Tuhan, adalah kepercayaan filosofis yang menyatakan bahwa Tuhan ada sebagai suatu sebab pertama yang tidak bersebab, yang bertanggung jawab atas penciptaan alam semesta, tetapi kemudian tidak ikut campur dengan dunia yang diciptakannya. dan aliran Ateisme. Ateisme berasal dari kata yunani, Atheos, yang merujuk kepada orang-orang yang kepercayaannya mempercayai bahwa tuhan tidak ada/penyangkalan adanya Allah. Namun arti tentatng Allah yang disangkal tidak sama dengan pandangan semua orang, oleh karenanya arti ateisme berbeda-beda juga. Beberapa model ateisme yang diuraikan Franz Magnis Suseno adalah ateisme dalam diri LudwigFuerbach, Karl Marx, dan Friedrich Nietzsche, namunpernyataan yang paling vokal datangnya dari Friederich Nietzsche. Ia mengatakan bahwa “Tuhan telah mati, kitalah yang membunuh-Nya”. Frederich Nietzsche sangat terkenal dengan sabda Zarathusra (1883) bahwa “Tuhan telah mati”. Inilah awal mula penolakan terhadap Tuhan. Penolkannya terhadap Tuhan sebenarnya berasal dari kebenciannya melihat orang Kristen yang tidak menunjukkkan kekristenan yang seharusnya menampilkan kasih. Kebenaran baginya sangat subyetif, dipikirkan manusia yang sangat super kekuasaannya terhadap dirinya sendiri. Subjektifitas itu juga dalam hal kebenaran agama, apa yang disebut baik bisa saja sebenarnya sangat baik.

John M. Frame, dalam bukunya “Apologetika bagi Kemuliaan Allah”, mengatakan bahwa Ateisme dapat bersifat praktis atau teoritis atau keduanya. Ateis teoritis adalah menyangkal Allah sedangkan Ateis praktis hanya hidup seolah-olah Allah tidak ada. Namun esensinya keduanya memiliki sikap untuk menghindar (pelarian) dari tanggung jawab. Ateisme dan penyembahan berhala adalah alternatif yang melawan kekristenan. Untuk menolak kekristenan seseorang harus menyangkal semua allah atau memilih satu allah untuk disembah selain daripada Allah Alkitab. Seperti Ateisme, pemberhalaan dapat bersifat teoritis ataupun praktis.”Allah”-nya bisa berwujud praktis, seperti realita praktis, uang (mommon), kesenangan, keluarga dan diri sendiri. Kehidupan yang terpola denga konsep ateisme pragmatis ini, secara tidak langsung akan “mengburkan iman” dan praktik-praktik real dari kehidupan Kristen yang murni, kemudian menjadikan sikap tersebut sebagai sesutau yang biasa-biasa saja dan akhirnya tanpa disadari kita sudah menjalani gaya hidup ateis pragmatis.

Fenomena ateis pragmatis disekitar kehidupan seorang prajurit

Menurut pandangan ini, keberadaan Tuhan tidaklah disangkal, tetapi dapat dianggap sebagai tidak penting dan tidak berguna; tuhan tidaklah memberikan kita tujuan hidup, ataupun memmengaruhi kehidupan sehari-hari. Ateisme praktis yang sering muncul dewasa ini dapat berupa:

  • Ketiadaan motivasi religius, yakni kepercayaan kepada Tuhan tidak memotivasi tindakan moral, religi, ataupun bentuk-bentuk tindakan spiritual lainnya. Suasana hari minggu, panggilan lonceng gereja yang berdentang, panggilan beribadah lewat pengeras suara dengan kidung rohani, dan bisikan Roh Kudus, tidak juga membangkitkan semangat dan kerinduan untuk melangkah ke Gereja. Hidup ini berjalan seolah-olah Allah tidak ada. Kita melepaskan tanggung jawab sebagai mahluk hidup ciptaan Tuhan, yang harus “beribadah pada hari minggu” sebagai apresiasi kemenangan Yesus atas maut, dimana Ia bangkit pada hari pertama minggu itu, seyogyanya kita merespon dengan beribadah (ref . Lukas 24:1).
  • Sebaliknya kita berdalil aktif, bahwa nanti saja beribadah, minggu depan juga masih ada. Sikap mengesampingkan Tuhan dan religi secara aktif dari intelek dan tindakan praktis seorang prajurit, secara lama kelamaan akan membentuk sikap apatis, yakni ketiada ketertarikan apapun pada “permasalahan Tuhan”, padahal Firman-Nya mengatakan perhatikannlah dan bantulah “sesamamu yang lapar, yang haus, seoarng asing, yang tidak punya pakaian, yang sakit, dan didalam penjara” (ref. Matius 25:36). Coba kita lihat! Apakah kondisi seperti itu masih ada dalam persekutuan kita?
  • Fenomena lain lagi, Kita melihat dan mengetahui ada sesama prajurit yang mengalami banyak pergumulan hidup rumah tangga, terkungkung dalam praktik-praktik okultisme, terlilit hutang, terjerumus dalam lembah kekelaman, dengan berbagai persoalan hidup, namun kita anggap semuanya sebagai fenomena hidup orang modern. Apa yang dia alami, saya juga mengalaminya. Kita lebih nyaman dengan orientasi kehidupan sendiri, nilai hedonisme diri semakin tinggi, dan tangan terulur kepada sesama kurang lebih hanya sebagai slogan yang menghiasintembok gereja kita. Intinya, kita lari dari esensi iman, kita menghindar (pelarian) dari tanggung jawab sebagai seorang prajurit Kristus. Padahal Firman-Nya mengajar kita setiap minggu, utuk “meniru sikap belas kasihan Yesus” agar dapat menjadi “penolong” bagi para Prajurit yang lain tanpa diskriminasi.

Dan ada banyak lagi sikap-sikap ateisme pragmatis yang kita perlun waspadai agar tidak bersikap seoalah-olah Allah tidak ada ” Tuhan telah mati, kitalah yang membunuh-Nya” (Friedrich Nietzche).

Lalu apa solusinya? “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamu manusia seperti dirimu sendiri” (Markus 12:30-31)

Gereja dan para prajurit perlu break down pengajaran ayat ini dalam seluruh aspek pelayanan di Korps, sehingga tertutup celah untuk bersikap sebaai seorang ateis pragmatis.

By: Mayor H. Tuhumury, M.Th.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *